Menikmati Senja di Tanah Lot

Ke Bali tanpa menginjakkan kaki di Tanah Lot adalah kerugian besar. Kalimat inilah yang beberapa tahun lalu pernah diucapkan adik lelaki saya. Ketika itu, kami sedang berdebat apakah mau ke Tanah Lot atau ke tempat lain. Dan memang benar sih yang dikatakan adik saya karena senja itu saya pertama kalinya melihat sunset terindah. Itu sebabnya, ketika bulan Januari 2018 lalu saya berkesempatan liburan ke Bali bersama suami, saya mengajaknya menikmati senja di Tanah Lot.

Rute Menuju Tanah Lot

Tanggal 16 Januari 2018, seharian kami eksplorasi destinasi keren yang ada di Kabupaten Bangli dan sekitarnya. Target kami memang wisata air terjun. Beberapa tempat wisata yang akhirnya kami kunjungi, antara lain air terjun Tibumana, air terjun Pengibul, dan air terjun Goa Rang Reng. Sekitar jam 4 sore, Pewe (suami saya) sudah mulai gelisah ingin melihat sunset. Saat itulah saya teringat pengalaman menikmati senja di Tanah Lot bersama adik saya ketika kami ke Bali tahun 2015. Jadi saya pun mengusulkan Tanah Lot, yang langsung disambut Pewe dengan sukacita.

Dengan mengandalkan aplikasi Google Map, kami meninggalkan air terjun Goa Rang Reng menuju ke Tanah Lot. Suasana sore itu jalanan cukup ramai. Pewe mengemudikan motor sedikit ngebut karena tidak mau kehilangan momen sunset di Tanah Lot. Beberapa nama jalan yang kami lalui: Jalan Gunung Agung, Jalan Patih Jelantik-Gianyar, menuju Jalan Udayana, Jalan Raya Angantaka – Sibang Gede, Jalan Raya Darmasaga, hingga akhirnya kami tiba di Jalan Bypass Tanah Lot. Di beberapa titik di Jalan Bypass Tanah Lot, saya melihat ibu-ibu yang menjual makanan di pinggir jalan bermodal meja panjang dengan berbagai jenis jajanan dan makanan khas Bali. Kami mampir di salah satunya untuk membeli dua bungkus nasi jinggo kesukaan kami, ditambah dengan dua tusuk sate puyuh, dua tusuk sate luluh, dan plecing kangkung. Sesudahnya, kami kembali melanjutkan perjalanan.

Sekitar pukul 05.30 WITA, kami tiba di Tanah Lot. Untuk masuk ke destinasi wisata ini kami cukup membayar tiket masuk seharga 20 ribu perorang dan parkir 5 ribu rupiah. Sesudah memarkir sepeda motor, saya sempat minta ditemani Pewe untuk melihat-lihat di toko-toko yang berjajar di depan pintu masuk. Sayangnya, Pewe langsung menarik saya untuk segera masuk saja daripada nanti tak sempat melihat sunset.

Saat melewati pintu masuk, dua petugas meminta tiket masuk kami, melubangi kedua tiket tersebut sebagai tanda telah diperiksa, kemudian mempersilakan kami masuk. Dari pintu itu, kami melewati jalan berpaving yang di sisi kiri dan kanannya banyak toko-toko yang menjual berbagai souvenir, pakaian dan kain khas Bali, juga berbagai tempat makan. Lagi-lagi, Pewe menarik tangan kanan saya agar bergegas menuju sunset terrace. Katanya, kalau mau belanja, nanti saja pulangnya. Okelah. Saya menurut saja. Ini pengalaman pertama Pewe menikmati senja di Tanah Lot, jelas dia jadi exciting banget dan terkesan tak sabar dengan saya yang berjalan berlambat-lambat.

Kecewa Karena Senja di Tanah Lot Tertutup Mendung

Baru saja kami tiba di sunset terrace dan memilih spot untuk berfoto, langit yang tadinya cerah berangsur redup. Awan mendung menggantung di langit. Embusan napas Pewe terdengar keras dari sisi kanan saya, terlihat sekali dia kecewa karena mendung membuat kami tak bisa melihat sunset. Meski begitu, dia tetap tersenyum sambil berkata, “Ya, masih musim hujan sih sekarang, mau gimana lagi. Ya udah, kita foto-foto dulu di sana,” ajaknya seraya menunjuk ke arah Pura Batu Bolong. Kami pun mengambil beberapa foto berlatar Pura Batu Bolong.

“Kita turun, yuk, airnya lagi surut tuh,” kata Pewe lagi seraya menunjuk ke sisi lain, ke arah Pura Luhur Tanah Lot yang berdiri megah di atas karang besar, berseberangan dengan tempat kami berdiri. Saya pun setuju. Kami berjalan bersisian menuruni tangga hingga akhirnya berada di bawah. Ada cukup banyak wisatawan selain kami, baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Sebagian di antara mereka berdiri di bebatuan karang yang bisa dijadikan pijakan akibat air laut yang surut. Kami ikut berdiri di bebatuan karang itu, berhati-hati saat melangkah karena karang-karang itu ada yang licin, dan lagi-lagi membekukan momen dalam bentuk foto.

Ular Suci dan Air Suci di Pura Luhur

Beberapa wisatawan yang sepertinya dari India terdengar berbincang dengan guide mereka mengenai adanya ular suci di gua yang berseberangan dengan Pura Luhur Tanah Lot. Menurut sang guide, pengunjung boleh masuk ke gua itu untuk melihat ular suci lebih dekat dengan membayar iuran seikhlasnya. Saat para wisatawan dari India mulai berjalan menuju gua, saya mengajak Pewe untuk mengikuti mereka mendekati antrian panjang pengunjung yang rupanya ingin melihat ular suci juga. Kami sempat berdiri beberapa saat di dalam antrian, mendengarkan pula kisah-kisah berkaitan dengan ular suci yang konon katanya merupakan jelmaan selendang seorang Brahmana bernama Danghyang Nirartha. Sang Brahmana ini adalah pengembara yang telah menempuh perjalanan dari pulau Jawa ke Bali dan yang mendirikan Pura Luhur Tanah Lot sekitar abad ke-16. Nah ular tersebut dipercayai sebagai penjaga Pura ini.

Antrian bergerak lambat. Saya jadi tak sabar karena membuang waktu terlalu lama dengan menunggu sementara masih banyak hal lain yang bisa kami nikmati. Saya pun mengajak Pewe meninggalkan antrian menuju ke arah Pura Luhur. Untuk dapat mencapai Pura, kami harus menyeberang dan membiarkan tubuh kami basah terendam air laut hingga sebatas pinggang. Kami lagi-lagi harus antri karena ada cukup banyak pengunjung yang juga ingin ke Pura Luhur untuk meminta air suci. Ketika tinggal tiga orang pengunjung lagi di depan kami, tiba-tiba salah satu petugas berteriak kalau air laut mulai pasang dan seluruh pengunjung yang masih berada di Pura Luhur untuk bergegas kembali. Yah, gagal lagi deh. Tapi tak apa, bisa berada di sini bersama Pewe merupakan anugerah yang patut disyukuri. Kami lalu berfoto bergantian dengan dengan latar belakang Pura Luhur Tanah Lot.

Janji Untuk Kembali Menikmati Senja di Tanah Lot

Senja telah berlalu. Langit semakin redup. Pengunjung satu persatu meninggalkan Tanah Lot. Kami ikut naik lagi bersama para pengunjung, namun di dekat pura kecil yang tak jauh dari gerbang keluar, Pewe menghentikan langkah saya. “Kita duduk di situ dulu, yuk. Asyik kali makan nasi jinggo sambil memandangi laut yang perlahan jadi hitam.”

Benar kata Pewe, makanan sederhana yang kami nikmati jadi terasa berbeda karena di hadapan kami terbentang pemandangan yang begitu indah. Memang tak ada sunset. Tetapi tetap saja perubahan warna laut yang perlahan menjadi gelap menjadi daya tarik tersendiri, apalagi ditambah adanya perayaan keagamaan di pura dekat tempat kami duduk. Cukup lama kami duduk di sana, sampai akhirnya gerimis turun dan membuat kami berlarian sambil tertawa menuju ke parkiran motor. Tapi saat melewati salah satu toko, Mbok (panggilan perempuan Bali) menyapa saya dan menawarkan baju khas Bali yang lucu (bermodel semacam daster tanpa lengan. Dia bilang ayo dilihat-lihat dulu. Hari ini sepi dan belum ada yang beli. Kalau saya mau, saya boleh pilih 5 baju dengan harga 100 ribu. Serius? Tawaran ini tentu saja tak saya lewatkan karena di tempat lain saya pernah bertanya, model baju yang sama harganya kurang lebih 40 -50 ribu. Jadilah akhirnya saya beli 5 baju, yang membuat Pewe langsung cemberut. “Itu buat kamu pake semua?” katanya. Saya mengangguk dan jawab, “Iya, 5 baju untuk 5 hari, 5 warna berbeda.” Dan dia semakin cemberut… hahaha.


Di perjalanan kembali ke Ubud, hujan yang tadinya hanya berupa rintik-rintik kecil menjadi semakin deras. Kami basah kuyup karena belum sempat beli jas hujan. Alih-alih berhenti sejenak menunggu hujan reda, Pewe malah terus melajukan motor karena dia tak mau tiba di Ubud tengah malam. Kami pernah menempuh perjalanan naik motor dengan berhujan-hujan sewaktu dari Surabaya ke Jakarta, dari Jakarta ke Semarang, dari Semarang ke Jogja, bahkan pernah keliling Kalimantan Selatan naik motor dan berhujan-hujan. Ini pertama kalinya kami touring berdua di bawah derasnya hujan di Pulau Dewata.

“Suatu hari nanti kita ke sini lagi ya, Cha, menikmati senja di Tanah Lot yang sesungguhnya sekali lagi, bersama-sama.”

Ya, suatu hari nanti kami pasti kembali ke sini dan semoga saat itu benar-benar bisa menikmati senja di Tanah Lot yang indah.

1 thought on “Menikmati Senja di Tanah Lot”

Leave a Comment